Aku akan bercerita tentang hujan yang datang
persis ketika semi pergi.
Pukul 16:09, Minggu sedang merindu
Awal aku bertemu dengannya, ketika aku sedang duduk di beranda bersama
dengan teh hangat dan kudapan. Bukannya aku tak suka dengan hujan. Hanya saja, ia terlalu
dingin dan tak mudah disentuh.
Mana lagi ia datang membawa suara gemuruh. Sungguh itu mengganguku
yang sedang menikmati sepi. aku juga tak suka dengan bau hujan yang mirip
dengan semi. Aku kan baru saja ingin melupakan nya, baru saja loh yah.
Keesokan harinya ia datang di waktu yang sama. Padahal, aku sudah cetus
kepadanya.
Bahkan sedikit berbicara kasar. Namun masih saja ia
ngotot untuk menemani soreku di beranda tua depan teras rumah. ”kamu sangat
dingin, aku tidak suka. pergi sana” aku sedikit emosi karena ia membandel. ”aku
memang dingin, namun setidaknya aku tidak pergi
begitu saja seperti semi” aku terdiam saat mendengarkan ucapan hujan. kenapa
sekali lagi ia terus mengingatkan aku pada semi?
Semi memang sangat hangat, aku suka dengannya pada saat jumpa pertama. Ia
sering bercanda gurau dan membuatku nyaman kepadanya. Tidak seperti hujan yang
datang membuatku risih. namun, hujan benar semi pergi tanpa pamit ketika aku
sudah nyaman dengannya.
Hari demi hari hujan selalu datang, ya tentunya, dengan suara gemuruh
dan memecah sepi.
Lama-lama aku terbiasa dengan suasana ini. Maksudnya -suasana yang
dibuat oleh hujan.
Aku merasa tidak sendiri lagi. Dia juga sudah tidak membahas tentang
semi. itu juga mungkin karena aku yang tak memulai dan tanpa sadar aku sudah
jatuh hati kepadanya.
Hujan selalu mendengarkan keluh kesah ku. seakan-akan ia datang untuk
menampung kesedihan. Aku sempat bertanya kepadanya, benar saja jawaban nya membuat ku terharu “jika aku juga
berkelu kesah, bagaimana aku bisa menghiburmu?” katanya di sore yang panjang
pada kala itu.
Namun ada yang aneh pada sore itu, ia terlihat tidak sedingin pada awal
aku bertemu.
Dia sangat hangat dan nyaman. senyum nya juga membuat ku meleleh seketika.
”jika aku bukan kebahagian mu, aku pergi. Karena pada dasarnya aku hanya
penghapus sepi” aku kaget saat hujan berkata seperti itu. bagaimana ia bisa? maksudnya-hari
ini ia terlihat begitu....ah sudah lah ia tak mengerti. Perasaanku berubah
tidak enak.
Benar saja keesokan harinya hujan tidak datang. Ah mungkin ia bosan
pikirku dan saat aku ingin masuk kedalam rumah, tiba-tiba semi datang
menampakan wajah seakan ia tak bersalah.
“Aku bukan aku yang dulu” ujar ku. semi mengerutkan dahi lalu tersenyum
”oh aku tau kamu marah kepada ku karena mengilang tiba-tiba kan?” aku
menggeleng. jujur aku sudah tidak marah. hanya saja, aku merasa hati ku bukan
untuk nya lagi.
“Aku jatuh hati pada orang lain” sekali lagi semi mengerutkan dahinya. ”pada
hujan” tanya nya. aku pun mengangguk seperti orang bodoh. Semi tertawa
terbahak-bahak, suara tawanya sungguh mengejek. ”Hujan hanya datang untuk
menemani mu cantik, bukan untuk menjadi milik mu” mendengar kata-kata semi
membuatku lemas. ”Apa maksudmu semi?” tanya ku dengan nada penuh kemarahan. berani
sekali semi berkata seperti itu. ”Ya hujan hanya menggantikan posisi ku, dia
memang suka pada mu. dan hujan tau jika kamu suka sama aku. jadi, dia fikir
untuk membuatmu bahagia saja sudah cukup. ”Aku menggeleng tidak setuju dengan
apa yang difikirkan oleh hujan.
Semi pergi setelah aku tolak mentah-mentah. jujur saja aku memikir kan
kebodohan hujan yang berfikir seperti itu. apa ia tidak peka? aku suka
kepadanya. bagaimana ia bisa mengorbankan perasaan demi kebahagiaanku. Bodoh
kamu bodoh hujan. Aku benci...
Sore datang, namun kau tak ada.
Bagaimana
hariku?
tak usah kau tebak, pasti
sepi...
Hujan.... Boleh
aku rindu?
Setidaknya
hanya itu yang kupunya dari mu
Sebuah
sajak untuk hujan,
Dari
aku yang merindu.
Tamat...
Penulis : Annisa Nur Oktaviani
Editor : AAB