EJuMRwNyqTotlMliHj99f5Sn8wQyGIHNTxYLmsJc

Featured Post

Selamat Hari Raya Idul Adha 1440 H

Selamat Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1440 H Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh Saya atas nama pribadi dan keluarga mengucapkan "Selamat Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1440 H". Mari kita jadikan momen Idu…

“Nanti pulang kutunggu di Stasiun Mas”


“Nanti pulang kutunggu di Stasiun Mas”
Oleh : Annisa Nur Oktaviani 
Editor : Akrom A.B

Sumber gambar : divertone.com


”Nanti kita akan bertemu lagi disini, jadi kamu sabar. Pulang lah kasian anak-anak sudah mengantuk”. Itu adalah kalimat terakhir yang di ingat oleh sumarni saat mengantar suami nya untuk pergi perang.  Entah kapan suaminya akan pulang, sudah hampir setahun tak terdengar kabar nya. Hingga saat ini ia berdiri di tempat yang sama untuk ke sekian kalinya namun suaminya tak kunjung datang.

“Sudahlah Sumarni kau tak usah menunggu suami mu setiap hari, macam orang gila saja” Sumarni tebal telinga saat para tetangganya menyinyir ketika ia lewat setelah pulang dari stasiun. Bukannya Sumarni tak mau berhenti, ia ingin, namun rasa rindu yang sangat menggebu membuat sumarni datang kembali ke Stasiun.

Saat itu umur Sumarni masih 16 tahun ketika dipersunting oleh Narso. Narso adalah pemuda yang memiliki budi perkerti luhur, sangat menurut pada Orang tua. Mereka dijodohkan lalu saling jatuh cinta saat pandangan pertama mereka. Berjanji sehidup semati dan menghabiskan waktu tua bersama. Kebiasaan yang tak pernah terlewatkan adalah saat sumarni membasuh muka narso saat pulang dari kebun sayur nya. “ biar wajah suamiku tetap terlihat tampan” ujar sumarni malu-malu.

Saat itu, anak pertama mereka lahir ketika tanda-tanda bahwa Narso akan dijadikan pasukan perang dan pergi  jauh dari kampung halaman. Risau hati Sumarni, namun Narso dengan tutur kata nya yang lembut mampu menenangkan hati istrinya yang takut ditinggal pergi oleh sang suami. “Bagaimana pun jika aku pergi jauh, aku tetap bersamamu dan anak-anak kita karena darahku ada di tubuh mereka”

Ketakutan Sumarni akhrinya terjadi setelah anak kedua mereka lahir. Narso dengan hati-hati berbicara dengan istrinya. “aku akan pergi perang dik” seperti tersambar petir sumari menangis sejadi-jadi nya. “Mas janji akan pulang?” tanya sumarni dengan isak nya. “Mas tak bisa janji tapi akan di usahakan” jawab narso dengan lembut sambil mengelus rambut istrinya yang cantik itu. “Kalo begitu berjanji lah mas tidak akan terluka, dengan begitu mas pasti akan pulang” sumarni masih merujuk. Dielus nya kembali rambut sumarni oleh narso “ baiklah, sudah malam sebaiknya kita tidur. Kasian anak-anak nanti terganggu”

Namun, sudah setahun Narso tak ada kabar. Batang hidungnya pun tak terlihat. Jangan kan surat, kabar burung pun tak kedengaran oleh sumarni tentang suami nya itu. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Narso tak kunjung kembali

“Ibu mau ke stasiun lagi? Untuk apa bu?” putri nya mulai geram dengan kelakuan sang ibu yang  setiap hari tanpa henti pergi ke stasiun. “Untuk menunggu bapak mu nak” jawab sumarni dengan murung. ”Bapak sudah mati bu, tak usah ditunggu lagi” jawab anaknya dengan lirih. “Tidak... tidak Nak Bapak mu belum mati. Aku harus menunggunya, barangkali saat datang jika aku tak ada dia lupa jalan pulang” sumarni pergi tak menghiraukan.

Sumarni duduk termenung di bangku stasiun, orang berlalu lalang tak satu pun tanda-tanda narso akan kembali. Ia ingin mempercayai bahwa suaminya telah tiada. Namun, semua terlalu membuat nya sakit. Narso telah berjanji tidak akan terluka, dan berjanji akan menghabiskan waktu tua bersama. Namun janji tersebut tak terwujud. Sumarni semakin gundah gulana tiba-tiba dari arah timur seorang lelaki dengan perawakan yang sama dengan suami nya datang dan tersenyum.

“Sudah waktunya pulang Bu, sudah hampir 5 jam semenjak tadi pagi. Ibu memang tidak lapar?” putra  Sumarni berbicara dengan tenang sambil menggenggam erat tangan ibunya. Sumarni tiba-tiba teringat dengan kata-kata Narso dulu “ aku akan selalu di samping kalian, karena darah ku tlah mengalir di tubuh anak-anak” Ia menangis lalu memeluk anaknya.  “kau sudah sangat besar, persis bapakmu Nak” putra sumarni memandang dengan heran lalu mulai paham dengan omongan Ibunya.


Maafkan aku sudah menyia-nyiakan anak-anak kita Mas, hingga tak sadar mereka sudah besar. Aku sudah terima semuanya. Tunggu aku nanti, kita sudah tua bersama dengan anak-anak kita. Dengan darahmu” 



Related Posts

Related Posts

Post a Comment