“Nanti pulang kutunggu di Stasiun Mas”
Oleh : Annisa Nur Oktaviani
Editor : Akrom A.B
 |
Sumber gambar : divertone.com |
”Nanti kita
akan bertemu lagi disini, jadi kamu sabar. Pulang lah kasian anak-anak sudah
mengantuk”. Itu adalah kalimat terakhir yang di ingat oleh sumarni saat
mengantar suami nya untuk pergi perang. Entah kapan
suaminya akan pulang, sudah hampir setahun tak terdengar kabar nya. Hingga
saat ini ia berdiri di tempat yang sama untuk ke sekian kalinya namun suaminya
tak kunjung datang.
“Sudahlah Sumarni kau tak usah menunggu suami mu setiap hari, macam
orang gila saja” Sumarni tebal telinga saat para tetangganya menyinyir
ketika ia lewat setelah pulang dari stasiun. Bukannya Sumarni tak mau
berhenti, ia ingin, namun rasa rindu yang sangat menggebu membuat sumarni datang
kembali ke Stasiun.
Saat itu umur Sumarni masih 16 tahun ketika dipersunting oleh Narso. Narso adalah pemuda
yang memiliki budi perkerti luhur, sangat menurut pada Orang tua. Mereka dijodohkan lalu saling jatuh cinta saat pandangan pertama mereka. Berjanji sehidup
semati dan menghabiskan waktu tua bersama. Kebiasaan yang tak pernah
terlewatkan adalah saat sumarni membasuh muka narso saat pulang dari kebun
sayur nya. “ biar wajah suamiku tetap terlihat tampan” ujar sumarni malu-malu.
Saat itu, anak
pertama mereka lahir ketika tanda-tanda bahwa Narso akan dijadikan pasukan
perang dan pergi jauh dari kampung
halaman. Risau hati Sumarni, namun Narso dengan tutur kata nya yang lembut
mampu menenangkan hati istrinya yang takut ditinggal pergi oleh sang suami. “Bagaimana
pun jika aku pergi jauh, aku tetap bersamamu dan anak-anak kita karena darahku ada di tubuh mereka”
Ketakutan Sumarni
akhrinya terjadi setelah anak kedua mereka lahir. Narso dengan hati-hati
berbicara dengan istrinya. “aku akan pergi perang dik” seperti tersambar petir
sumari menangis sejadi-jadi nya. “Mas janji akan pulang?” tanya sumarni dengan isak nya. “Mas tak
bisa janji tapi akan di usahakan” jawab narso dengan lembut sambil mengelus
rambut istrinya yang cantik itu. “Kalo begitu berjanji lah mas tidak akan terluka, dengan
begitu mas pasti akan pulang” sumarni masih merujuk. Dielus nya kembali rambut
sumarni oleh narso “ baiklah, sudah malam sebaiknya kita tidur. Kasian
anak-anak nanti terganggu”
Namun, sudah setahun Narso tak ada kabar. Batang hidungnya pun tak terlihat. Jangan kan surat,
kabar burung pun tak kedengaran oleh sumarni tentang suami nya itu. Hari
berganti bulan, bulan berganti tahun. Narso tak kunjung kembali
“Ibu mau ke
stasiun lagi? Untuk apa bu?” putri nya mulai geram dengan kelakuan sang ibu
yang setiap hari tanpa henti pergi ke
stasiun. “Untuk menunggu bapak mu nak” jawab sumarni dengan murung.
”Bapak
sudah mati bu, tak usah ditunggu lagi” jawab anaknya dengan lirih. “Tidak... tidak Nak Bapak mu belum mati. Aku harus menunggunya, barangkali saat datang jika
aku tak ada dia lupa jalan pulang” sumarni pergi tak menghiraukan.
Sumarni duduk
termenung di bangku stasiun, orang berlalu lalang tak satu pun tanda-tanda
narso akan kembali. Ia ingin mempercayai bahwa suaminya telah tiada. Namun,
semua terlalu membuat nya sakit. Narso telah berjanji tidak akan terluka, dan
berjanji akan menghabiskan waktu tua bersama. Namun janji tersebut tak
terwujud. Sumarni semakin gundah gulana tiba-tiba dari arah timur seorang
lelaki dengan perawakan yang sama dengan suami nya datang dan tersenyum.
“Sudah
waktunya pulang Bu, sudah hampir 5 jam semenjak tadi pagi. Ibu memang tidak
lapar?” putra Sumarni berbicara dengan
tenang sambil menggenggam erat tangan ibunya. Sumarni tiba-tiba teringat dengan
kata-kata Narso dulu “ aku akan selalu di samping kalian, karena darah ku tlah
mengalir di tubuh anak-anak” Ia menangis lalu memeluk anaknya. “kau sudah sangat besar, persis bapakmu Nak” putra sumarni memandang dengan heran lalu mulai paham dengan omongan Ibunya.
“Maafkan
aku sudah menyia-nyiakan anak-anak kita Mas, hingga tak sadar mereka sudah
besar. Aku sudah terima semuanya. Tunggu aku nanti, kita sudah tua bersama
dengan anak-anak kita. Dengan darahmu”